Kegagalan Sang Jubir Memaknai Pesan
Sabtu, 5 April 2025 08:01 WIB
Oleh: Ratna Komala, Anggota Dewan Pers 2016-2019/ Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang
Simbol dan Simbolisasi dalam Komunikasi
Dalam komunikasi manusia simbol dan simbolisasi memainkan peran yang sangat penting. Setiap proses interaksi sosial, komunikasi manusia tidak hanya melibatkan percakapan langsung, tetapi juga penggunaan simbol-simbol yang memiliki makna bagi individu maupun kelompok tertentu. Simbol dapat berbentuk verbal yakni kata atau bahasa, atau non-verbal seperti objek, gestur, gambar, tanda yang mewakili ide, konsep atau benda yang dipahami dan dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh anggota kelompok sosial tertentu.
Simbolisasi merujuk pada penggunaan symbol untuk menyampaikan makna dalam komunikasi. Dalm konteks ini, simbolisasi adalah proses di mana individu menggunakan simbol untuk menggambarkan, merujuk, atau menyampaikan pemikiran, perasaan, atau ide-ide mereka kepada orang lain.
Sejatinya proses simbolisasi ini memerlukan adanya pemahaman bersama antara individu yang berkomunikasi, sehingga simbol yang digunakan dapat dipahami dengan cara yang serupa dan disepakati bersama. Maka Simbol memiliki makna yang sangat bergantung pada konteks sosial dan budaya tempat simbol digunakan. Apa yang dianggap sebagai simbol dalam satu budaya, bisa jadi tidak memiliki makna yang sama di budaya lain.
Secara umum simbol berfungsi untuk menyampaikan makna dalam berbagai cara yang berbeda. Pertama symbol digunakan untuk menunjukkan identitas dan representasi diri atau kelompok. Contohnya cara berpakaian, logo atau tanda dan symbol lainnya yang menunjukkan afiliasi dengan kelompok atau ideologi tertentu. Kedua, simbol-simbol digunakan dalam suatu komunitas atau kelompok budaya sebagai instrumen untuk menyatukan kelompok dalam satu system pemahaman yang sama, sehingga memungkinkan komunikasi dan interaksi yang efektif antar anggota kelompok.
Misalnya penggunaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan atau slogan Bhinneka Tunggal Ika yang menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia di seluruh wilayah Nusantara, di atas keragaman suku bangsa, adat istiadat dan Bahasa. Ketiga, simbol dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan atau emosi, baik melalui bahasa verbal yakni kata-kata penuh emosi, kemarahan, melecehkan, merendahkan atau bahasa non-verbal seperti ekspresi wajah atau sikap tubuh.
Oleh karena makna simbol bergantung pada kesepakatan sosial dan budaya, maka memahami symbol dan simbolisasi dalam komunikasi dalam konteks sosial-budaya, dapat membantu individu lebih efektif dalam berinteraksi dan mengurangi kesalahpahaman.
Makna simbolisasi kepala babi dan bangkai tikus
Paket kepala babi dan bangkai tikus yang dikirimkan ke redaksi Tempo baru-baru ini menurut kesepakatan sosial kita, merupakan simbol yang dapat dimaknai sebagai tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan/intimidasi yang digunakan untuk menakut-nakuti secara psikologis masyarakat pers secara umum. Media Tempo adalah simbol representasi dari institusi pers, yang dikenal sebagai media yang lantang mengkritisi dan mengupas berbagai kasus ketidakadilan yang menimpa masyarakat yang termarjinalkan. Begitulah sejatinya media pers yang dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Pers no 40/1999 akan melaksanakan fungsi kontrol dan pengawasan tehadap tiga pilar kekuasaan dalam demokrasi, yaitu praktik kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Teror Kepala Babi
Dalam konteks yang lebih luas, sejatinya terror kepala babi dan bangkai tikus yang dikirimkan ke media Tempo merupakan simbolisasi sebuah bentuk terror yang bertujuan “menyerang“ bukan hanya institusi persnya, namun tujuan pengirimnya ingin melemahkan kebebasan berekspresi, khususnya menyerang kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers berarti kebebasan bagi media untuk menyampaikan informasi, menyuarakan pendapat, dan melakukan investigasi tanpa adanya tekanan, intimidasi, intervensi atau pembatasan dari pihak pemerintah, kelompok tertentu, atau individu.
Pers yang merdeka memiliki peran penting sebagai pengawas terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, dapat secara bebas melakukan investigasi dan melaporkan berbagai peristiwa atau kebijakan, dapat mengekspos ketidakadilan, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Kemerdekaan pers memberikan ruang bagi berbagai pendapat dan kritik. Informasi yang bebas dan transparan memberi masyarakat kesempatan untuk lebih terlibat dalam isu-isu penting, mengedukasi diri mereka, dan memperjuangkan hak-hak mereka. Dalam kehidupan pers, kemerdekaan pers ini berarti keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kewajiban untuk menegakkan etika jurnalistik
Kegagalan Sang Jubir
Simbol dan simbolisasi dalam komunikasi kerap mengandung makna yang lebih dalam dan spesifik dalam konteks sosial-budaya tertentu. Jika seseorang tidak memahami konteks sosial-budaya dari simbol dan simbolisasi dengan benar, maka pesan yang dimaknai dan diinterpretasi dapat salah. Kesalahan dalam memahami simbol bisa menyebabkan konflik atau salah paham antara individu atau kelompok.
Maka para praktisi dan pelaku komunikasi publik, serta mereka yang berprofesi sebagai juru bicara institusi yang strategis dituntut, bukan hanya mampu dan cakap dalam memilih diksi untuk disampaikan, namun juga memiliki pengetahuan sosial, politik dan hukum, memahami konteks psiko-sosial-budaya dan etika masyarakat, dan yang paling utama yang bersangkutan harus sadar apa peran sosialnya dan mampu merepresentasikan peran institusinya di mata publik.
Respons juru bicara Kepresidenan Hasan Nasbi, ketika ditanya wartawan terkait kiriman kepala babi dan bangkai tikus ke media Tempo merupakan contoh yang gamblang bagaimana sang Jubir gagal memaknai pesan dalam simbol dan simbolisasi komunikasi. Sang Jubir tidak memahami kemerdekaan pers adalah elemen kunci dalam membangun dan menjaga demokrasi yang sehat. Akibatnya sebagai juru bicara Kepresidenan yang dengan perannya menjadi representasi sikap Pemimpin Negara, memberikan respons yang jauh dari subtansi permasalahan, karena tidak memiliki pengetahuan dan kecakapan memaknai symbol dan simbolisasi komunikasi.
Ancaman terhadap kemerdekaan pers dan kehidupan demokrasi membutuhkan sikap negara yang tegas, bukannya malah meremehkan tanpa empati seperti respons Hasan nasbi kepada pers. Publik menilainya bahwa sang Jubir memiliki komunikasi politik yang buruk. Sampai-sampai Presiden RI Prabowo Subianto sendiri merasa perlu menyampaikan kepada para pembantunya untuk melakukan komunikasi public dengan baik. Tentunya Pak Presiden bukan sekedar meminta para pembantunya memperbaiki dalam pemilihan diksi dan etika dalam berkomunikasi, tetapi gestur Pak Presiden ingin menjamin negara hadir dalam melindungi kemerdekaan pers.(RTN)

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Kegagalan Sang Jubir Memaknai Pesan
Sabtu, 5 April 2025 08:01 WIB
Acara Temu Penulis Indonesiana Lancar dan Cukup Gayeng
Rabu, 27 Maret 2024 18:04 WIBArtikel Terpopuler